Selasa, 05 Agustus 2025 11:19 WIB

Nusantara

Putar Suara Burung di Kafe Biar Bebas Royalti? LMKN: Tetap Harus Bayar, Lho!

Redaktur: Redaksi
| 16 views

Ilustrasi

Afiliasi.net - Di tengah maraknya kasus pelanggaran hak cipta, sejumlah pemilik kafe dan restoran mulai mencari cara “kreatif” agar tetap bisa menciptakan suasana nyaman tanpa harus repot membayar royalti lagu. Salah satu cara yang belakangan ramai dilakukan adalah memutar suara burung sebagai pengganti lagu-lagu populer di tempat usaha mereka.

Fenomena ini mulai mencuat setelah pengelola salah satu gerai Mie Gacoan di Bali ditetapkan sebagai tersangka karena memutar musik tanpa membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Kasus tersebut tampaknya membuat pelaku usaha lain mulai berhati-hati—dan mencari celah.

Namun, jangan senang dulu. Menurut Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, memutar suara burung bukan berarti bebas dari kewajiban hukum. Jika suara burung yang diputar berasal dari rekaman profesional atau diproduksi oleh label tertentu, maka tetap ada hak ekonomi yang melekat, dan pelaku usaha tetap harus membayar royalti.

“Sekarang kalau dia putar suara burung atau suara apa pun, itu ada hak dari produsen fonogramnya,” ujar Dharma saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Dharma menjelaskan, rekaman suara, apapun bentuknya—termasuk suara alam—tetap dianggap sebagai karya cipta jika direkam dan dipublikasikan oleh pihak tertentu. Artinya, meskipun bukan lagu dengan lirik dan melodi, rekaman itu tetap punya perlindungan hukum.

“Produsen yang merekam itu kan punya hak terhadap materi rekamannya. Itu juga hak terkait dari bentuk rekaman audio itu,” tambahnya.

Menurut Dharma, yang menjadi persoalan bukan hanya soal memutar musik atau tidak, tapi soal kesadaran menghargai karya orang lain. Ia menyoroti kecenderungan pelaku usaha yang justru mencari cara untuk menghindari membayar royalti, alih-alih memahami pentingnya hak kekayaan intelektual.

“Kenapa susah sih untuk membayar haknya orang? Mendapatkan keuntungan di kafe, tapi enggak mau bayar haknya orang. Itu kan enggak bagus, itu bertentangan dengan budaya kita,” kata Dharma.

Melalui akun Instagram resminya, LMKN juga mengingatkan bahwa royalti bukan sekadar pungutan. Royalti adalah bentuk penghargaan sekaligus insentif bagi para pencipta lagu, musisi, penulis lirik, hingga produser yang bekerja keras menciptakan karya.

Membayar royalti, menurut LMKN, berarti turut menjaga keberlangsungan industri musik Indonesia agar para pelaku kreatif bisa terus berkarya dengan adil dan seimbang.

Lalu, Solusinya Apa?

Bagi para pelaku usaha yang ingin tetap menyuguhkan suasana nyaman tanpa ribet urusan hak cipta, LMKN menyarankan agar bekerja sama secara legal dengan lembaga yang mengelola lisensi musik. Pilihannya banyak, tinggal disesuaikan dengan jenis usaha dan kapasitas tempat.

Atau kalau ingin bebas 100% dari urusan royalti, bisa saja memutar suara yang dibuat sendiri—selama rekamannya bukan milik orang lain.

Jadi, suara burung pun ternyata tidak selalu gratis. Kalau asal putar dari platform atau rekaman yang ada hak ciptanya, risikonya tetap sama: bisa dituntut. Alih-alih putar burung, mungkin sudah saatnya pelaku usaha memikirkan cara legal yang mendukung ekosistem kreatif tanpa harus melanggar aturan.(*)


TOPIK BERITA TERKAIT: #putar-suara-burung-di-cafe-tetap-bayar-royalti #lmkn 

Berita Terkait

IKLAN



Berita Lainnya

Terpopuler