Sabtu, 14 Desember 2024 11:12 WIB

Opini

Opini : Ketidakadilan Hukum pada Kasus Gadis di Bawah Umur yang Ditetapkan Sebagai Tersangka

Redaktur: Redaksi
| 137 views

Tangkapan layar dari akun instagram @bandung.banget

Afiliasi.net - Kasus seorang gadis berusia 14 tahun yang menjadi tersangka setelah menerima video tak senonoh dari kekasihnya di Padangsidimpuan, Sumatera Utara, mengangkat isu penting tentang ketidakadilan dalam penanganan hukum terhadap anak-anak, terutama dalam konteks pelecehan dan eksploitasi digital. Kisah ini memunculkan pertanyaan mendasar: sejauh mana perlindungan hukum bagi anak di bawah umur yang menjadi korban dalam situasi seperti ini? Apakah hukum kita sudah benar-benar berpihak kepada yang lemah?

 
Berdasarkan cerita yang disampaikan ayah korban, Tupal Sabar Pardede, putrinya dijadikan tersangka setelah menerima video dari seorang remaja yang disebut sebagai anak pejabat lokal. Sang anak kini menghadapi somasi dan status tersangka, meskipun dalam narasi keluarga, ia hanya menerima video tersebut tanpa menyebarkannya. Sayangnya, laporan mereka ke polisi juga tidak direspons dengan baik, bahkan barang bukti yang mereka bawa ditolak.

 
Kasus ini mengandung beberapa poin penting yang layak kita soroti lebih dalam. Pertama, persoalan tentang peran anak di bawah umur dalam situasi seperti ini. Di bawah undang-undang perlindungan anak, seorang anak yang berusia 14 tahun idealnya diperlakukan sebagai korban dalam perkara seperti ini, bukan pelaku. Menerima video yang dikirim tanpa sepengetahuan atau persetujuan penuh bukanlah tindak pidana, apalagi jika video tersebut diterima tanpa adanya niat untuk menyebarluaskannya.

 
Kedua, kasus ini menyoroti isu ketimpangan dalam penegakan hukum. Sang ayah merasa ada ketidakadilan, terutama mengingat kekuatan sosial dan ekonomi pihak yang menjadi lawan mereka, yakni anak dari seorang pejabat Kadin setempat. Ini menimbulkan pertanyaan apakah status sosial pelaku berpengaruh terhadap perlakuan hukum. Dalam banyak kasus, adanya status dan pengaruh sosial seringkali memang membuka celah yang menguntungkan pihak yang berkuasa. Kondisi seperti ini tentu merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang seharusnya adil dan berpihak pada yang benar, bukan pada yang kuat.

 
Ketiga, dalam kasus ini, polisi sebagai penegak hukum seharusnya melakukan penyelidikan yang lebih teliti, termasuk memverifikasi klaim kedua pihak secara seimbang. Alih-alih menempatkan korban sebagai tersangka, pihak berwenang harusnya lebih sensitif terhadap kondisi anak dan mempertimbangkan aspek psikologis, mengingat tekanan hukum yang dihadapi anak di bawah umur dalam situasi seperti ini bisa berdampak panjang terhadap kesehatan mental dan sosialnya.

 
Dalam konteks ini, mediasi yang dijadwalkan kepolisian memang patut diapresiasi sebagai langkah untuk menyelesaikan sengketa ini dengan cara yang lebih damai. Namun, proses mediasi tersebut haruslah berlandaskan pada keadilan dan perlindungan hak anak. Jika mediasi hanya digunakan sebagai formalitas, hal ini tidak akan menyelesaikan akar permasalahan.

 
Secara keseluruhan, kasus ini adalah pengingat bagi kita semua tentang pentingnya reformasi hukum yang mampu melindungi anak-anak secara menyeluruh. Kejadian ini adalah salah satu contoh di mana hukum perlu lebih berpihak pada korban, bukan hanya melihat dari segi teknis peraturan. Perlindungan anak di bawah umur harus ditegakkan tanpa diskriminasi, dengan mempertimbangkan kesejahteraan anak sebagai prioritas. Kita membutuhkan sistem hukum yang lebih berempati, terutama ketika berhadapan dengan kasus yang melibatkan anak-anak. (*)


TOPIK BERITA TERKAIT: #opini #gadis-dibawah-umur #disomasi #video-tak-senonoh #ketidakadilan-hukum 

Berita Terkait

IKLAN